·٠•●♥ Sahabat fillah rahikumullah....jazakumullah khoir (✿◠‿◠) ♥●•٠·

Layakkah kita ke SyurgaNya??


Solat Dhuha cuma dua rakaat, qiamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terngantuk-ngantuk.

Solat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, pilih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu.

Lupa pula dengan solat rawatib sebelum maupun sesudah solat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Bangunnya lambat". Dengan solat model begini, apakah layak mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat sentiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Sehingga kaki-kaki mereka bengkak kerana terlalu lama berdiri dalam khusyuknya.

Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mahu mendengarkan keluh mereka. Ketika azan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktiviti menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh titisan air mata.


Baca Al-Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami erti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tidak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini mengaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tidak melanjutkan bacaannya ketika cuba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan titis air mata. Setiap titis yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahawa mereka jatuh kerana lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata wang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada duit syiling. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling tidak kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yang penting ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih kedekut, senyum??  Apa yang susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, layak ke berharap Kebaikan dan Kasih Allah?

Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan isteri-isteri baginda yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia sentiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Baginda juga mengajarkan para sahabat untuk berlumba beramal soleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari berbalah dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal yang remeh temeh, tapi permusuhan boleh berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan keburukkan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus kesal setiap kali melihat kejayaan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah layak hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tidak perlukan apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apakah layaks berharap syurga Allah?

Dari redha orang tualah, redha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh syurga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah?

Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih dpt mendapati tangan lembut untuk dikucup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Kerana begitu banyak orang-orang yang tidak lagi mendapatkan kesempatan itu. Atau harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar memerlukan kehadiran mereka?


Jangan tunggu penyesalan.!!!!


Astaghfirullaah ...

Sama2 kira renungkan dan muhasabah diri...




~Nurmujahidah Solehah~

0 Komen tetamu yg baik :-):

Posting Komentar